Category: Renungan Muslim

Siapa Berjanji, Integritas Taruhannya

Beberapa minggu yang lalu, Abdur belajar tentang integritas dari Pembinaan Pekanan (PP) Mata’. Integritas menjadi tolak ukur kepercayaan seseorang terhadap kemampuan yang dimiliki seseorang. Integritas menunjukan bahwa  apa yang kita katakan, harus sesuai dengan apa yang kita lakukan. Apa yang kita janjikan, mesti kita penuhi dengan usaha semaksimal mungkin. Allah begitu murka dengan hambanya yang bisanya cuma bicara doang, tapi kelakuannya tidak sesuai dengan apa yang ia katakan. Abdur baru sadar, bahwa seseorang mesti memegang teguh apa yang ia katakan, tentu masih dalam koridor yang syari’.

Pelajaran ini begitu berharga buat Abdur. Abdur bersyukur kepada Allah dengan adanya kejadian ini. Sedikit cerita. Kejadian ini bermula ketika hubungan antara peserta PP Mata’ berlum akrab, belum kenal lebih jauh, setelah pertemuan ke sekian kali. Kita setiap minggu bertemu, namun ada saja yang belum kenal atau tau, entah nama, asal, kegemaran, tempat tinggal, ataupun daerah asal. Untuk memperkuat tali ukhuwah kami diwajibkan berta’aruf lebih jauh dengan teman-teman anggota Mata’ 2012. Waktu itu kami ditargetkan dalam waktu satu minggu harus sudah kenal 30 orang teman. Angka 30 sepertinya terlihat kecil dan mudah, namun kenyataannya sulit untuk dikerjakan. Kami baru bisa menuhi beberapa saja, mungkin di bawah sepuluh orang. Bahkan ada juga yang ndak tau infomasinya, sehingga belum mengerjakan sama sekali.

Di sini menurut Abdur perlunya seorang pemimpin yang peduli dengan apa yang ia janjikan. Integritas menjadi taruhannya. Ndak cuma bisa bilang, “ ..dalam seminggu, kami bisa menjalankan, menyelesaikan…” atau “Kak, Insya Allah minggu depan selesai”. Abdur katakan, ndak cuma itu, perlu adanya tindak lanjut untuk mencapai target terselesaikannya tugas  ini. Pemimpin perlu mencari cara bagaimana sebuah informasi segera menyebar dengan cepat bagaikan virus di computer. Semua anggota jadi tahu, sehingga tidak terdengar lagi, “ Kak, saya baru tau informasi ini hari ini, jadi belum mengerjakan… maaf ya…”. Perkerjaan pun yang mestinya seminggu bisa selesai, ndak terlarut-larut dan tertunda-tunda. Muncul pertanyaan, “Di mana tanggung jawab seorang pemimpin?”. Pemimpin di sini termasuk pribadi masing-masing.  “Semua manusia adalah pemimpin”, seperti yang terkandung  dalam Al Quran. Entah pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, Negara, atau bahkan pemimpin dunia. Bagaimana di akherat kelak, akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah. Rasaya takut, sedih, jika mengingat apa yang telah kita kerjakan. Mari  introspeksi diri masing-masing.

Kembali ke topic, setelah seminggu belum juga selesai. Sebagai konsekuensi atas kesalahan kami. ada tambahan tugas yang lebih berat dari sebelumnya.  Jumlah tugas di tambah menjadi 40 orang untuk yang datang tepat waktu, dan 45 orang yang agak telat. Anehnya, kita nurut aja dengan saran salah seorang sahabat Mata’ (Penulis sendiri dalam hal ini). Ndak ada yang protes atau memberikan alternative lain yang realistis. 30 orang aja sudah susah, apalagi 40 orang atau 45 orang.  Abdur ndak yakin bisa dikerjakan jika pola pikirnya belum berubah. Maksudnya pola pikir di sini adalah mengerjakan pekerjaan di akhir sebelum pengumpulan. Dengan kata lain, menjadi orang yang date liner. Tidak mempersiapkan jauh-jauh sebelumnya batas akhir pengumpulan. Di sinilah mungkin penyebab mengapa kita tidak bisa merealisasikan target yang telah kita dibuat. Kita belum paham dengan esensi yang terkandung di dalamnya.

Setelah seminggu berlalu, apa yang kami targetkan juga ndak selesai. Kami ndak bisa mencapai 40 data teman-teman di Mata’. Kalau pun dapat setengahnya, Abdur yakin itu belum dikerjakan secara maksimal. Mungkin cuma sekadar menulis doang dan minta kesan. Ndak ada pendekatan lebih jauh. Esensi dari tugas ini belum berhasil. Abdur teringat pesan salah seorang Kakak Mentor, bahwa tugas ini tidak hanya menggugurkan kewajiban menuliskan data teman-teman dan kesan, namum mengenal lebih lebih jauh kepribadian teman-teman Mata’ 2012. Tujuannya adalah agar lebih kompak, solid, dan peduli dengan anggota yang  lain. Saling merasakan adanya tanggung jawab yang dipikul bersama-sama. Menjadi generasi yang lebih baik dari generasi sebelumnya.

Itulah cerita bagaimana Abdur mendapat pelajaran yang begitu berharga. Banyak pelajaran yang didapat, karena keterbatasan waktu, maka tidak semuanya bisa dituliskan di essay yang sedikit ini. Walau sedikit ndak masalah, yang lebih penting berbobot dan bisa membuat kita semua lebih baik. Abdur ucapkan terima kasih buat Kakak-kakak yang punya integritas dan kepedulian kepada Abdur dan teman-teman. Terakhir, yuk kita jaga lisan kita, jangan obral janji, dan jadilah perencana. Segalanya perlu dipersiapkan dengan baik agar menghasilkan hasil yang maksimal. Salam dari Abdur Rohman

Ngabdur Rohman
Distributor Resmi  PT. Melia Sehat Sejahtera
Produk: Propolis  dan Melia Biyang
*propolis: obat anti banteri, virus, dan  jamur        
*Melia Biyang: obat awet muda selain silaturahim
Site: http://meliapropolis94.wordpress.com
HP: 08987323947

Menjauhi Prasangka dan Gosip

Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka adalah dosa. Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kalian memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang (al Hujurat: 12)

Allah memperingatkan manusia agar menjauhi beberapa sifat tercela. Sesungguhnya, ketiga sifat yang disebutkan memiliki  keterkaitan. Seseorang yang suka menggunjing orang lain punya kecurigaan atas orang yang digunjingnya itu. Demikian pula, seseorang yang mencari-cari kesalahan orang lain, melakukan aktivitas ini berdasarkan kecurigaan-kecurigaan tertentu. Jenis-jenis kelakuan ini sangat lazim dan entah bagaimana diterima oleh masyarakat, sekalipun perbuatan ini tentu saja bertentangan dengan nilai islam.

Sebuah perbandingan adalah dengan memikirkan bagaimana bila kita sendiri yang berada dalam keadaan yang demikian. Tak seorang pun yang ingin dimata-matai, segala rahasia dan kesalahnnya diintip dan dibongkar. Tak ada orang yang mau dirinya digosipkan, atau agar orang lain punya kecurigaan yang salah dan buruk tentang dirinya.

Seseorang yang merasa bahwa dirinya sedang menjadi bahan pembicaraan, akan merasa sangat tersiksa dan merasa mendapat perlakuan yang zalim. Membuat orang menjadi mendeita dan terjatuh dalam hal demikin merupakan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Ini menjadi pelajaran untuk kita agar tidak pernah menjatuhkan orang lain yang mana dirinya sendiri tidak ingin diperlakukan seperti itu pula.

Oleh karena itu, Allah membandingkan perbuatan ini dengan “memakan daging bangkai saudaranya“. Hal ini sama menjijikannya dengan menggunjing, mencurigai, dan mencari-cari aib orang lain. Allah mengancam akan memasukan ke neraka Huthamah (seperti disebutkan dalam surah al Humazah :1-9)

Biasanya perbuatan tercela tersebut ditimbulkan karena perasaan iri, dengki, dan dendam. Perbuatan ini sangat tidak sesuai  ajaran islam. Oleh karena itu, mari kita jauhi perbuatan-perbuatan semacam ini walaupun hanya sebentar saja, dan bersungguh-sungguh menghindarkan orang lain agar juga tidak mengerjakannya.

7 Ciri ‘Sok Tahu’, Termasukkah Anda?

Sok tahu pada dasarnya adalah merasa sudah cukup berpengetahuan padahal sebenarnya
kurang tahu. Masalahnya, orang yang sok tahu biasanya tidak menyadari. Lantas, bagaimana kita
tahu bahwa kita sok tahu? Mari kita mengambil hikmah dari Al-Qur’an.

Ada beberapa ciri sok tahu yang bisa kita dapatkan bila kita menggunakan perspektif
surat al-‘Alaq.
1. Enggan Membaca
Ketika disuruh malaikat Jibril, “Bacalah!“, Rasulullah saw menjawab, “Aku tidak bisa membaca.
Lalu malaikat Jibril menyampaikan lima ayat pertama yang memotivasi beliau untuk optimis.
Adapun orang yang sok tahu pesimis akan kemampuannya. Sebelum berusaha semaksimal mungkin,
ia lebih dulu berdalih, “Ngapain baca-baca teori. Mahamin aja sulitnya minta ampun.
Yang penting prakteknya kan?” Padahal, Allah pencipta kita itu Maha Pemurah. Ia mengajarkan
kepada kita apa saja yang tidak kita ketahui.

Di sisi lain, ada pula orang Islam yang terlalu optimis dengan pengetahuannya,
sehingga enggan memperdalam. Katanya, misalnya, “Ngapain baca-baca Qur’an lagi.
Toh udah khatam 7 kali. Mending buat kegiatan lain aja.” Padahal, Al-Qur’an adalah
sumber dari segala sumber ilmu, sumber cahaya yang tiada habis-habisnya menerangi
kehidupan dunia. Katanya, misalnya lagi, “Ngapain belajar ilmu agama lagi, toh sejak SD hingga
tamat kuliah udah diajarin terus.” Padahal, ilmu agama adalah ilmu kehidupan dunia-akhirat.

2. Enggan Menulis
Orang yang sok tahu terlalu mengandalkan kemampuannya dalam mengingat-ingat dan menghafal
pengetahuan atau ilmu yang diperolehnya. Ia enggan mencatat. “Ngerepotin,” katanya.
Seolah-olah, otaknya adalah almari baja yang isinya takkan hilang. Padahal, sifat lupa merupakan
bagian dari ciri manusia. Orang yang sok tahu enggan mencatat setiap membaca, menyimak khutbah,
kuliah, ceramah, dan sebagainya. Padahal, Allah telah mengajarkan penggunaan pena kepada manusia.

Di sisi lain, ada pula orang yang kurang mampu menghafal dan mengingat-ingat pengetahuan yang
diperolehnya, tapi ia merasa terlalu bodoh untuk mampu menulis. “Susah,” katanya. Padahal,
merasa terlalu bodoh itu jangan-jangan pertanda kemalasan. Emang sih, kalo nulis buat orang lain,
kita perlu ketrampilan tersendiri. Tapi, bila nulis buat diri sendiri, bukankah kita gak bakal
kesulitan nulis sesuka hati? Apa susahnya nulis di buku harian, misalnya, “Tentang ciri sok tahu, lihat al-‘Alaq!“?

3. Membanggakan Keluasan Pengetahuan
Orang yang sok tahu membanggakan kepintarannya dengan memamerkan betapa ia banyak membaca,
banyak menulis, banyak mendengar, banyak berceramah, dan sebagainya tanpa menyadari bahwa
pengetahuan yang ia peroleh itu semuanya berasal dari Allah. Ia mengira, prestasi yang berupa
luasnya pengetahuannya ia peroleh berkat kerja kerasnya saja. Padahal, terwujudnya pengetahuan itu
pun semuanya atas kehendak-Allah.

Mungkin ia suka meminjam atau membeli buku sebanyak-banyaknya, tetapi membacanya hanya sepintas
lalu atau malah hanya memajangnya. Ia merasa punya cukup banyak wawasan tentang banyak hal.
Ia tidak merasa terdorong untuk menjadi ahli di bidang tertentu. Kalau ia menjadi muballigh
‘tukang fatwa’, semua pertanyaan ia jawab sendiri langsung walau di luar keahliannya.
Ia mungkin bisa menulis atau berbicara sebanyak-banyaknya di banyak bidang, tetapi
kurang memperhitungkan kualitasnya.

4. Merendahkan Orang Lain Yang Tidak Sepaham
Bagi orang Islam yang sok tahu, siapa saja yang bertentangan dengan pendapatnya, segera saja
ia menuduh mereka telah melakukan bid’ah, sesat, meremehkan agama, dan sebagainya. Bahkan,
misalnya, sampai-sampai ia melarang orang-orang lain melakukan amal yang caranya lain walau
mereka punya dalil tersendiri. Ia menjadikan dirinya sebagai “Yang Maha Tahu”, terlalu yakin
bahwa pasti pandangan dirinyalah satu-satunya yang benar, sedangkan pandangan yang lain
pasti salah. Padahal, Allah Swt berfirman: “Janganlah kamu menganggap diri kamu suci;
Dia lebih tahu siapa yang memelihara diri dari kejahatan.” (an-Najm [53]: 32)

Muslim yang sok tahu cenderung menganggap kesalahan kecil sebagai dosa besar dan menjadikan dosa
itu identik dengan kesesatan dan kekafiran! Lalu atas dasar itu dengan gampangnya
ia mengeluarkan ‘vonis hukuman mati’. Padahal, dalam sebuah hadits shahih dari Usamah bin Zaid
dikabarkan, “Barangsiapa mengucapkan laa ilaaha illallaah, maka ia telah Islam dan
terpelihara jiwa dan hartanya. Andaikan ia mengucapkannya lantaran takut atau hendak berlindung
dari tajamnya pedang, maka hak perhitungannya ada pada Allah. Sedang bagi kita cukuplah dengan
yang lahiriah.”

5. Menutup Telinga dan Membuang Muka Bila Mendengar Pendapat Lain
Orang yang sok tahu tidak memberi peluang untuk berdiskusi dengan orang lain. Kalau toh ia
memasuki forum diskusi di suatu situs, misalnya, ia melakukannya bukan untuk mempertimbangkan
pendapat yang berbeda dengan pandangan yang selama ini ia anut, melainkan untuk mengumandangkan
pendapatnya sendiri. Ia hanya melihat selayang pandang gagasan orang-orang lain, lalu menyerang
mereka bila berlainan dengannya. Ia tidak mau tahu bagaimana mereka berhujjah (berargumentasi).

Di samping itu, orang yang sok tahu itu bersikap fanatik pada pendapat golongannya sendiri.
Seolah-olah ia berseru, “Adalah hak kami untuk berbicara dan adalah kewajiban kalian untuk
mendengarkan. Hak kami menetapkan, kewajiban kalian mengikuti kami. Pendapat kami semuanya benar,
pendapat kalian banyak salahnya.” Orang yang terlalu fanatik itu tidak mengakui jalan tengah.
Ia menyalahgunakan aksioma, “Yang haq adalah haq, yang bathil adalah bathil.”

6. Suka Menyatakan Pendapat Tanpa Dasar Yang Kuat
Muslim yang sok tahu gemar menyampaikan pendapatnya dengan mengatasnamakan Islam tanpa memeriksa
kuat-lemahnya dasar-dasarnya. Ia suka berkata, “Menurut Islam begini….
Islam sudah jelas melarang begitu….” dan sebagainya, padahal yang ia ucapkan sesungguhnya
hanyalah, “Menurut saya begini…. Saya melarang keras engkau begitu….” dan seterusnya.
Kalau toh ia berkata, “Menurut saya bla bla bla….”, ia hanya mengemukakan opini pribadinya
belaka tanpa disertai dalil yang kuat, baik dalil naqli maupun aqli.

7. Suka Berdebat Kusir
Jika pendapatnya dikritik orang lain, orang yang sok tahu itu berusaha keras mempertahankan
pandangannya dan balas menyerang balik pengkritiknya. Ia enggan mencari celah-celah kelemahan
di dalam pendapatnya sendiri ataupun sisi-sisi kelebihan lawan diskusinya. Sebaliknya,
ia tekun mencari-cari kekurangan lawan debatnya dan menonjol-nonjolkan kekuatan pendapatnya.
Dengan kata lain, setiap berdiskusi ia bertujuan memenangkan perdebatan, bukan mencari kebenaran.

Demikianlah beberapa ciri orang yang sok tahu menurut surat al-‘Alaq dalam pemahamanku.
Dengan mengenali ciri-ciri tersebut, semoga kita masing-masing dapat melakukan introspeksi dan
memperbaiki diri sehingga kita tidak menjadi orang yang sok tahu. Aamien.

sumber: Aisha Chuang